Berdirinya Nahdlatul Ulama tidak terlepas dari cita-cita ulama-ulama Nusantara untuk membangun peradaban baru pascaruntuhnya kekhalifahan Turki Ustmani. Basis peradaban baru ini adalah kemanusiaan universal.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·3 menit baca
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Gambar tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama menghiasi Kantor Pengurus Besar NU, Jakarta, Selasa (6/8/2019).
Memasuki usia 100 tahun Nahdlatul Ulama, sesuai perhitungan penanggalan hijriah, harapan agar NU berkontribusi lebih besar di tingkat global semakin kuat. Harapan ini, antara lain, muncul dalam peringatan Hari Lahir Ke-99 NU, 17 Februari 2022.
Visi, sejarah, dan modal NU untuk tampil lebih mengglobal itu sebenarnya sudah ditanamkan pendirinya, Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari, saat organisasi didirikan tahun 1926. Hal ini diuraikan KH Yahya Cholil Staquf, Ketua Umum Pengurus Besar NU (PBNU), dalam wawancara dengan Kompas, Selasa (15/2/2022).
Ia mengutip pidato pendiri NU, Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari, di Muktamar I, yang menyebut bahwa NU berdiri dimaksudkan sebagai wahana ”konsolidasi semesta”. Visi ini, antara lain, disimbolkan dengan bola dunia pada lambangnya. Selain itu, ada dimensi peristiwa global, yakni peristiwa keruntuhan kekhalifahan Turki Ustmani, yang dibubarkan tahun 1924, di balik berdirinya NU.
Runtuhnya kekhalifahan Turki Ustmani membuat umat Islam seperti kehilangan “penopang” peradaban modernnya. Para pendiri NU, menurut Gus Yahya, mengampanyekan organisasi NU sebagai wadah perjuangan semesta kaum Islam terpelajar, yang terpusat pada pesantren-pesantren di Nusantara. “NU menjadi wadah konsolidasi semesta yang disimbolkan dengan lambang jagad, bumi,” tuturnya.
Ada cita-cita besar di balik pendirian NU, yaitu meretas jalan baru untuk membangun peradaban. ”Dari catatan-catatan yang ada, NU didirikan sebagai rintisan untuk jalur baru bagi peradaban masa depan sebagai ganti atas konstruksi (peradaban) lama yang hilang itu,” ujar Gus Yahya.
Peradaban lama yang hilang itu merujuk pada kekhalifahan Turki Ustmani. Pidato Hasyim Asy’ari, yang dikenal sebagai qaul asasi, kini masuk dalam Mukadimah Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga NU. Ini berarti, wawasan global itu sudah mengakar sejak NU lahir dan memiliki fondasi kuat dalam landasan organisasi.
Kompas
Ketua Umum PBNU, KH Yahya Cholil Staquf
Kini, pertanyaannya adalah bagaimana mewujudkan visi dan cita-cita global NU itu? Pada perhelatan Muktamar Ke-34 NU, akhir Desember 2021, salah satu hal menarik yang ditawarkan Gus Yahya adalah ”menghidupkan Gus Dur”. Gus Dur adalah panggilan akrab almarhum KH Abdurrahman Wahid, mantan Ketua Umum PBNU tiga periode dan juga Presiden ke-4 RI.
Menurut Gus Yahya, meski Gus Dur tidak pernah berbicara eksplisit tentang visi peradaban baru ala NU, seperti diwacanakan para pendirinya, pemikiran-pemikiran Ketua Umum PBNU periode 1984-1999 itu memperlihatkan perjuangannya untuk menemukan ”jalan baru menuju peradaban baru”. ”Gus Dur menyimpulkan basis peradaban baru itu adalah kemanusiaan universal,” lanjut Gus Yahya.
Kondisi global
Kemanusiaan universal itu, menurut Gus Yahya, sangat relevan dengan kondisi global saat ini. Situasi dunia yang tengah diwarnai perebutan supremasi di antara berbagai kekuatan dunia, termasuk negara-negara superpower pemilik senjata nuklir.
”Umat manusia sekarang ini praktis cuma punya dua pilihan: mau selamat bersama atau hancur bersama,” kata Gus Yahya.
Hal ini yang membuat NU, mau tidak mau, harus mendorong konsensus bersama ke arah peradaban baru yang lebih stabil dan lebih aman untuk menghindari kerusakan besar. ”Kita harus memperjuangkan konsensus universal tentang kesetaraan hak dan martabat di antara manusia,” ucap Gus Yahya.
Dokumentasi untuk Kompas
Katib Aam PBNU KH Yahya Cholil Staquf (kiri) bersama Paus Fransiskus (kanan) di sela audiensi di kediamannya, di Basilica, Vatikan, Rabu (15/1) malam.
Untuk membumikan pandangan kemanusiaan yang universal, NU berupaya memanfaatkan jaringan dan simpul-simpul global mereka. Ulama NU yang sering berdiskusi dengan ulama internasional atau bahkan pemuka agama dari negara lain serta otoritas politik adalah bagian dari upaya membumikan pandangan tersebut.
Dalam beberapa kesempatan, misalnya, NU juga terlibat upaya penyelesaian konflik di Afghanistan. NU pernah dilibatkan dalam negosiasi dengan kelompok Taliban. Ketertarikan ulama Afghanistan pada nilai-nilai NU membuat mereka mendirikan NU Afghanistan.
Gus Yahya mengakui, peran dan keterlibatan NU di kancah global masih perlu diperkuat. Yang jelas, membagikan pandangan dan visi kemanusiaan universal dengan pihak lain telah menjadi bagian dari upaya dan keinginan NU untuk tampil mengglobal.
”NU sebagai bagian dari bangsa Indonesia punya mandat dari para pendiri untuk melakukan hal ini. Kalau Indonesia tidak bergerak, kita mengkhianati mandat para pendiri bangsa,” kata Gus Yahya.