Ini Alasan Lima Napol Papua Batal Dibebaskan

0
1646

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Michael Himan, Anggota Tim Advokasi Papua yang mendampingi enam Tapol Papua korban anti rasisme di Jakarta menyesalkan terjadinya pembatalan pembebasan para Tapol.

“Ini adalah cerminan dari penerapan Permen Hukum dan HAM yang diskriminatif terhadap para narapidana politik Papua. Ini menunjukkan buruknya pemenuhan HAM dalam penerapannya di Indonesia.”

Himan menjelaskan, Tim Advokasi Papua menyesalkan terjadinya pembatalan pembebasan bersyarat (asimilasi) oleh petugas register Rumah Tahanan Salemba dan Rutan Pondok Bambu terhadap 5 (lima) Narapidana Politik Papua: Paulus Suryanta Ginting, Ambrosius Mulait, Charles Kossay, Dano Anes Tabuni, dan Ariana Lokbere pada Selasa, 12 Mei 2020.

Padahal, kata dia, sehari sebelumnya, 11 Mei 2020 pihak Rutan Salemba dan Pondok Bambu menyatakan kelengkapan administrasi ke-lima narapidana politik Papua tersebut dinyatakan lengkap dan memenuhi syarat yang ditandai tanda tangan kelimanya dalam dokumen masing-masing.

“Pembatalan ini menunjukkan bahwa penerapan Permen Kemkumham No. 10 tahun 2020 berlaku diskriminatif untuk lima Napol Papua. Praktek ini juga bertentangan dengan prinsip kemanusiaan sebagaimana instruksi Dewan HAM PBB dalam menyikapi pandemi Covid-19,” tegas Himan.

ads

Dikatakan, Menteri Hukum dan HAM RI telah mengeluarkan Peraturan Menteri Kementerian Hukum dan HAM Nomor 10 Tahun 2020 tentang Syarat Pemberian Asimilasi dan Hak Integrasi Bagi Narapidana dan Anak Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19.

Kebijakan pembebasan narapidana di tengah pandemi seperti sekarang ini merupakan salah satu pemberian hak narapidana dalam bentuk kemanusiaan – sebagaimana instruksi Dewan HAM PBB, Michelle Bachelet dalam keterangan tertulisnya di Genewa (25/3), yang mendesak negara-negara untuk melonggarkan populasi di penjara.

“Itu dilakukan untuk lindungi orang-orang yang ditahan dalam fasilitas tertutup seperti penjara yang penuh dan sesak. Resiko penyebaran corona lebih rentan. Tidak hanya Indonesia, negara-negara terdampak Covid-19 sudah lebih dulu mengambil langkah pemberian hak integrasi saat pandemi ini,” katanya.

Menurut hemat tim advokasi Papua, pemberian asimilasi dan hak integrasi merupakan wujud jaminan hak asasi manusia terhadap para narapidana. Karena, pemerintah menjamin keselamatan para narapidana dari potensi terkena wabah Covid-19 yang bisa saja menginfeksi lapas. Karena mengingat over crowded di LP tidak memungkinkan para narapidana terapkan physical distancing sebagaimana anjuran pemerintah.

“Hak integrasi itu hak semua narapidana mendapatkan program pembinaan untuk mengintegrasikan narapidana dan anak ke dalam kehidupan masyarakat setelah memenuhi persyaratan yang telah ditentukan. Juga hak ini diatur dalam UU Pemasyarakatan berupa pemberian pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas, dan cuti bersyarat,” jelasnya.

Himan berpendapat bahwa Permen Kemkumhan gagal diwujudkan dalam pelkasanaan untuk Napol Papua. Harusnya kelima narapidana politik papua dibebaskan bersyarat (asimilasi) pada hari ini (12/5) setelah pemeriksaan seluruh dokumen pemeriksaan dinyatakan lengkap oleh petugas di dua rumah tahanan.

Indikasi lain yang ditunjukkan atas syarat pembebasan ini juga dengan keluarnya surat perintah eksekusi, bahkan kelima narapidana politik papua telah menandatangani dokumen pembebasan dihadapan petugas rutan (rutan salemba dan pondok bambu).

Kata Himan, keluarga, kolega dan Penasehat Hukum kelima narapidana politik papua telah menunggu penjemputan pembebasan sejak pukul 10.00, namun hingga pukul 17.00 Wib petugas rutan di Salemba dan Rutan Pondok Bambu tetap berkeras untuk tidak membebaskan kelima narapidana politik papua tersebut dengan alasan vonis kelimanya memiliki unsur kejahatan terhadap negara.

“Kami menilai terjadinya perubahan keputusan yang mendadak, membatalkan pembebasan kelima klien kami merupakan praktik diskriminasi atas peraturan menteri hukum dan HAM No. 10 tahun 2020, hal ini juga merupakan pengabaian hak-hak asasi narapidana untuk Mendapatkan hak asimilasi dan hak integrasi,” tegasnya.

Himan menilai pemerintah Indonesia telah mengabaikan prinsip-prinsip kemanusiaan sebagaimana telah diisyaratkan dalam instruksi Dewan HAM PBB yang mendesak negara-negara untuk melonggarkan populasi di penjara dalam mencegah penyebaran Covid-19.

“Kami menilai, selain praktik diskriminasi, petugas Rutan Salemba dan Pondok Bambu dalam perkara ini dibawah kewenangan administratif Kanwil Hukum dan HAM DKI Jakarta telah melakukan praktik mal administrasi dengan terhadap upaya pembebasan kelima tahanan politik papua,” bebernya.

Untuk itu, kata dia, Tim Advokasi Papua mendesak Menteri Hukum dan HAM RI untuk secara konsisten, dan untuk kemanusiaan segera mengeluarkan instruksi pembebasan kepada kelima tahanan politik papua di Rutan Salemba dan Pondok Bambu. Untuk alasan kemanusiaan, Kebijakan pembebasan kelima tahanan politik Papua ini harus diikuti dengan instruksi pembebasan seluruh tahanan politik di Indonesia.

Selain itu, pihaknya juga mendesak kepada Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya untuk melakukan tindakan proaktif memeriksa dugaan pelanggaran administratif dari pembebasan kelima tahanan politik papua.

Sementara itu, Rico Tude, Jubir FRI-WP mengatakan, sebelumnya Surya Anta, Ambrosius Mulait, Charles Kossay, Dano Tabuni, dan Arina Elopere, dikabarkan akan bebas tanggal 12 Mei. Namun Tapol Papua dipersulit bebas bersyarat, terkendala PP No 99/2012 dengan syarat harus ada surat pengakuan setia pada NKRI dan Pancasila.

Padahal Permen Kemenkumham No 10/2020 dibuat untuk mencegah penyebaran covid-19 di Rutan dan Lapas. PP No 99/2012 dapat dijadikan dasar hukum bila dalam situasi normal. Namun sekarang situasinya lagi pandemi. Apalagi dikabarkan ada 12 orang Napi sudah positif Covid-19 di Rutan Pondok Bambu.

“Siapa yang dapat menjamin kesehatan para tahanan, khususnya Tapol Papua? Permen Kemenkumham No 10/2020 justru mendiskriminasi Tapol Papua. Di negara-negara lain, Tahanan Politik diprioritaskan untuk bebas, di negara ini malah sebaliknya,” katanya.

REDAKSI

Artikel sebelumnyaLSM Bikin Strategi Hadapi Rio Tinto Soal Tambang di Bougainville
Artikel berikutnyaBupati Bantah Tuduhan DPRD Intan Jaya